04
Jun
10

Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen (Tema, Latar, dan Penokohan)

SK : Memhami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen)

KD : Menemukan tema, latar, penokohan pada cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen

CERPEN

Cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak penting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai Muhamad Kasim dan Suman Hasibuan pada awal 1910-an

Cerpen merupakan cerita yang pendek, hanya mengisahkan satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi menyelesaikan semua tema dan persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita (opening) ditulis secara menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian, pada bagian akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise).

Menurut Phyllis Duganne, seorang wanita penulis dari Amerika, cerpen ialah susunan kalimat yang merupakan cerita yang mempunyai awal, bagian tengah, dan akhir. Setiap cerpen mempunyai tema, yakni inti cerita atau gagasan yang ingin diucapkan cerita itu. Seperti halnya
penamaannya, cerita pendek, cerpen ialah bentuk cerita yang dapat dibaca tuntas dalam sekali duduk.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsure-unsur yang secara faktual
dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik dalam karya sastra, khususnya cerpen, meliputi tokoh/ penokohan, alur (plot), gaya bahasa, sudut pandang, latar (setting), tema, dan amanat.

Berikut penjelasan mengenai unsur intrinsik.
1. Tokoh dan Karakter Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Adapun tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis merupakan penentang tokoh protagonis.

Ada beberapa cara penggambaran karakter tokoh dalam cerpen, di antaranya sebagai berikut.

– Melalui apa yang diperbuat tokoh. Hal ini berkaitan dengan bagaimana sang tokoh bersikap dalam situasi ketika tokoh harus mengambil keputusan.

– Melalui ucapan-ucapan tokoh. Dari apa yang diucapkan tokoh kita dapat mengetahui karakternya.»

– Melalui penjelasan langsung. Dalam hal ini penulis menggambarkan secara langsung karakter tokoh.»

2. Latar (Setting)
Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut.

a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu.

b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan.

c. Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal-hal lainnya.

3. Alur (Plot)
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga susunan cerita atau jalan cerita. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam menyusun bagianbagian cerita, yakni sebagai berikut. Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Susunan yang demikian disebut alur maju. Urutan peristiwa tersebut meliputi:

– mulai melukiskan keadaan (situation);
– peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtanses);
– keadaan mulai memuncak (rising action);
– mencapai titik puncak (klimaks)
– pemecahan masalah/ penyelesaian (denouement)

Pengarang menyusun peristiwa secara tidak berurutan. Pengarang dapat memulainya dari peristiwa terakhir atau peristiwa yang ada di tengah, kemudian menengok kembali pada peristiwaperistiwa yang mendahuluinya. Susunan yang demikian disebut alur sorot balik (flashback). Selain itu, ada juga istilah alur erat dan alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu sehingga apabila salah satu peristiwa ditiadakan maka dapat mengganggu keutuhan cerita. Adapun alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak begitu padu sehingga apabila salah satu peristiwa ditiadakan tidak akan mengganggu jalan cerita.

4. Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah visi pengarang dalam memandang suatu peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui sudut pandang, kita dapat mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah tersebut? Ada beberapa macam sudut pandang, di antaranya sudut pandang orang pertama (gaya bercerita dengan sudut pandang “aku”), sudut pandang peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.

5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya.

6. Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.

7. Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya.

Tugas

1. Pilihlah sebuah cerpen kemudian bacalah cerpen tersebut (setiap anak tidak boleh sama)!

2.  Analislah tema, latar dan penokohan dari cerpen tersebut!

3. Kirim tugas tersebut ke komentar dalam fauzazi.wordpress.com paling lambat tanggal 10 Juni 2010!


7 Tanggapan to “Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen (Tema, Latar, dan Penokohan)”


  1. Juni 8, 2010 pukul 1:24 pm

    Nama : Yuli Harianti
    TAKDIRKU
    Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
    Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
    Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di dompetnya. Bodohnya aku! Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. Iih, Tari menggumam. Kenapa aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur? Atau, dia yang terlalu seperti anak kecil?
    Kenangan itu masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang dikenangnya itu memberikan surat kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari putus dengannya. Memang sosok Audra yang seperti anak kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat, wajahnya yang bersih, dan bertubuh tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit untuk memutuskan putus atau tidak pada saat itu. Selama ini semenjak putus dengan Audra, ia sering berkhayal, berkhayal seandainya ia bisa lebih berpikir dewasa lagi. Namun yang sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
    Daripada ia teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending terlintas kenangannya dengan Audra. Plak!! Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke bundanya itu sampai menggerakkan gendang telinganya. Bapak, Bapak! Cukup! Tari berlari menangis. Tak heran kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya. Wajah gelisahnya membuat dirinya penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia termasuk perempuan sabar dan kuat karena ia dapat bertahan dengan kondisin keluarga seperti itu.
    Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang menandakan jam istirahat telah usai. Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya sampai Yanti sobatnya itu membangunkannya dari lamunannya.
    “Tar!”
    “Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
    “Iya nih, lagi pusing aku.”
    “Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
    “He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
    Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak kemarin ia terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu menampar bundanya yang tak sengaja mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok dan pulang malam. Yan, aku tuh udah putus dengannya! Tari menyela sobatnya denan menahan ketawa sebab melihat wajah Yanti yang berekspresi kayak “Aming” komedian itu.
    Tentu saja Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan menangisi takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu bersedih lantaran kehidupannya yang menyedihkan.
    Dan siang itu meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pikirannya masih melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi kekasihku! pasti masalahku akan reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
    “Tar, hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar!” Bejo pura-pura tak ngerti kesalahannya. Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik, guru paling killer di sekolah.
    “Tari! Maju ke depan.”
    “Oh, My God!”
    “Bilang apa kamu tadi ?”
    “Ndak Bu, ndak!”
    Semua teman Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik mendengar ketawa mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat sedang berpikir sesuatu.
    “Ono opo ya ma Tari ?”
    “Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
    Teman sebangku Yanti dan yang tak lain adalah Audra mencetuskan kata-kata seperti itu. Dan membuat Yanti terkejut dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua masih saling suka.
    Tapi…………
    Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
    “Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan menganggu pelajaran Ibu!” muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak habis makan 100 cabe merah keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia memasak dengan bundanya.
    Tet tet tet tet tet tet…………
    Untung penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari, teman-temannya juga terselamatkan. Karena mereka ingin sekali tak mengikuti pelajaran ini. Tapi begitu melihat Bu Tartik, akhirnya mereka mengikutinya.
    “Duduk kamu! Ketua kelas pimpin doa!”
    “Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
    “Iya, kamu kenapa ?”
    Oh My God, Audra! Tari yang semula cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra menghampiri dan perhatian kepadanya.
    “Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
    “Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
    “Bejo! kowe ojo ngono.”
    “Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
    “Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
    “Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
    “Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
    “Ooo, emang kowe tuh!”
    “Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
    Jam 7 malam …………
    Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
    “Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
    “Kamu bisa tunangan dulu dan setelah lulus dari kuliah, kamu baru menikah dengannya!”
    Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
    “Sabar ya anakku, Bunda selalu disini menemanimu.” Mereka menangis berdua. Keesokan harinya Tari tak masuk sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek. Capek menangis semalaman. Ini merupakan takdir atau hanya kebetulan saja, Audra juga tak masuk. Entah apa alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu, ada perbincangan antar keluarga.
    “Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
    “Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
    “Pa!!!”
    Jam di kamar Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan dilamar. Bun! Aku nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya berwarna putih jika dipakenya akan pas di badannya yang ramping itu. Bunda, aku mau dengan perjodohan ini hanya karena agar Bunda tak disakiti Bapak! Tari memperjelas alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah sedan hijau masuk pelan ke halaman rumah Tari dan berhenti tepat di depan teras. Bapak menyambut keluarga itu. Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat murung dan malas sama seperti Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak mempersilahkan mereka masuk.
    Dibantu dengan bunda, ia segera memakai sepatu highheels warna putih mengkilat itu dengan buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui keluarga pelamarnya.
    Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
    “Ya benar, aku Audra!” Dia memang Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah ini? Secara reflek, Tari langsung memeluk Audra dan ……………
    “Tar,Aku sayang kamu!”
    “Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
    Unsur Intrinsik
    1. Tema : Percintaan dan takdir
    2.latar : a. Kamar tari pukul 17.15
    b. Kelas sehabis jam istirahat sekolah
    c. jam 7 malam di ruang menonton TV
    d. Kamar setelah sholat isyak
    e. Rumah di jalan Araya
    f. Jam 15.00 di rumah Tari
    5. Penokohan/perwatakan : Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
    Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
    Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
    Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
    Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
    Bejo : Usil, medok, nakal
    Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
    Papa : Egois

  2. Juni 8, 2010 pukul 1:30 pm

    Ibu ini tugas saya
    Nama :Sholihati P

    Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
    Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
    Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
    Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
    Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
    Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
    Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
    Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
    Tinjauan atas Unsur Intrinsik
    Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
    Tema
    Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
    Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
    “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
    Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
    “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
    Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
    Latar
    Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
    Latar Tempat
    Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
    Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
    Latar Waktu
    Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
    “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
    Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
    Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
    Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm.
    “Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
    Latar Sosial
    Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
    Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
    Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
    Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
    “Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
    “Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
    …………………………………………………………………………
    “cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
    “Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
    Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
    Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
    Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
    “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
    “Kerja”
    “Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
    “ya.Dia pergi kerja.”
    Penokohan
    Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
    a. Tokoh Aku
    Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
    Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
    Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
    “Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
    b. Ajo Sidi
    Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
    ….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
    .
    Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
    c. Si Kakek
    Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
    Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
    Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
    “ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
    d. Haji Saleh
    Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

  3. Juni 8, 2010 pukul 1:45 pm

    Ibu ini jawaban tugas saya
    nama : Titje Puji Lestari

    ANALISIS TEMA., LATAR DAN PENOKOHAN PADA CERPEN PERADILAN RAKYAT KARYA PUTU WIJAYA
    Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
    “Tapi aku datang tidak sebagai putramu,” kata pengacara muda itu, “aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini.”
    Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
    “Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?”
    Pengacara muda tertegun. “Ayahanda bertanya kepadaku?”
    “Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
    tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini.”
    Pengacara muda itu tersenyum.
    “Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku.”
    “Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu.”
    Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
    “Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri.”
    Pengacara tua itu meringis.
    “Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.”
    “Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!”
    Pengacara tua itu tertawa.
    “Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” potong pengacara tua.
    Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
    “Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,” sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”
    Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
    “Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
    “Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.”
    “Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
    Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
    Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini.”
    Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
    “Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya.”
    “Lalu kamu terima?” potong pengacara tua itu tiba-tiba.
    Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
    “Bagaimana Anda tahu?”
    Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: “Sebab aku kenal siapa kamu.”
    Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
    “Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
    Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
    “Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?”
    “Antara lain.”
    “Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku.”
    Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
    “Jadi langkahku sudah benar?”
    Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
    “Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?”
    “Tidak! Sama sekali tidak!”
    “Bukan juga karena uang?!”
    “Bukan!”
    “Lalu karena apa?”
    Pengacara muda itu tersenyum.
    “Karena aku akan membelanya.”
    “Supaya dia menang?”
    “Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku.”
    Pengacara tua termenung.
    “Apa jawabanku salah?”
    Orang tua itu menggeleng.
    “Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang.”
    “Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan.”
    “Tapi kamu akan menang.”
    “Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.”
    “Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini.”
    Pengacara muda itu tertawa kecil.
    “Itu pujian atau peringatan?”
    “Pujian.”
    “Asal Anda jujur saja.”
    “Aku jujur.”
    “Betul?”
    “Betul!”
    Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
    “Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?”
    “Bukan! Kenapa mesti takut?!”
    “Mereka tidak mengancam kamu?”
    “Mengacam bagaimana?”
    “Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?”
    “Tidak.”
    Pengacara tua itu terkejut.
    “Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?”
    “Tidak.”
    “Wah! Itu tidak profesional!”
    Pengacara muda itu tertawa.
    “Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!”
    “Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?”
    Pengacara muda itu terdiam.
    “Bagaimana kalau dia sampai menang?”
    “Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!”
    “Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?”
    Pengacara muda itu tak menjawab.
    “Berarti ya!”
    “Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”
    Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
    “Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.”
    “Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.”
    “Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?”
    “Betul.”
    “Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
    Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional.”
    Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
    “Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia.”
    Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
    “Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.”
    “Tapi…”
    Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
    “Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”
    Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
    “Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai.”
    Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
    Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
    “Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?” ***
    Menurut saya wordpress yang dibuat oleh saudara Albert ini sudah cukup bagus, tapi mungkin tampilannya harus bisa lebih divariasikan lagi suapaya pembaca tidak jenuh dalam melihat wordpress Anda ini.
    Jawaban Tugas
    1. Adapun tema dari cerpen ini adalah keadilan di dalam kehidupan harus ditegakkan bagaimana pun adanya.
    2. Latar yang terjadi dalam cerpen ini suasana di rumah sang
    Pengacara Tua. Anda dapat menentukan latar tempat yang sesuai dengan penafsiran
    Anda sendiri. Latar sosial dalam cerita ini menyangkut keadaan negeri yang carut
    marut dalam hal keadilan, yaitu korupsi yang merajalela.
    3. untuk penokohan dalam cerpen ini antara lain:
    a. Pengacara Tua : Memiliki sikap yang mau membela keadilan dan kebenaran
    sesuai dengan hukum. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.
    “… Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuripencuri keadilan yang
    bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah
    yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak
    belajardari buku itu.”
    Ia pun memiliki sikap mau mewariskan sikap sewajarnya dalam menghadapi
    persoalan kepada anaknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.
    “Jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
    deskripsi-deskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrindoktrin
    beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai
    suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”
    b. Pengacara Muda: Ia memiliki watak yang mau belajar dan berani membela
    kebenaran sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh ayahnya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dia ucapkan:
    “Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
    keadilan di negeri yang sedang kacau ini.”
    Pengacara Muda ini pun memiliki keteguhan sendiri yang tidak terpengaruh oleh
    orang lain, bahkan ayahnya sekalipun. Ia minta bicara dengan ayahnya tersebut
    dengan memosisikan diri sebagai orang lain.Ia pun mempunyai sikapp berani
    mengemukakan melawan arus. Ia berani bicara dengan pendiriannya sendiri yang
    berbeda dengan garis pendirian ayahnya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan
    berikut.
    “…Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap
    kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk
    menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak
    memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan
    yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah
    keadilan itu sendiri.”

  4. Juni 8, 2010 pukul 3:38 pm

    ibu ini hasil tugas Saya
    Nama : Riza Hastuti

    KAJIAN CERPEN-CERPEN MOH. WAN ANWAR
    DALAM BUKU KUMPULAN CERPEN ‘SEPASANG MAUT’
    “Sepasang Maut”
    1) Tema
    Cinta tokoh Aku tak sampai pada Si Mata Laut hingga perempuan cantik menemui ajalnya di laut.
    2) Tokoh
    • Si Mata Laut : Seorang wanita cantik yang sangat mencintai laut
    • Aku : Tokoh yang mencintai si Mata Laut tetapi cintanya selalu ditolak karena tak pernah bisa memahami laut
    • Istri Aku
    • Teman laki-laki Si Mata Laut
    • Teman perempuan Si Mata Laut
    • Ibu penunggu warung
    • Penjala ikan
    • Pengelola laut
    • Tiga orang penyelam
    3) Latar : Laut, rumah, kantor
    4) Alur : Maju(Progresif)
    Tahap pengenalan
    Tahap pemunculan konflik
    Tahap pengembangan konflik
    Tahap klimaks
    Tahap penyelesaian
    5) Sudut Pandang: orang pertama.
    6) Amanat : Mencintai alam tak harus melupakan kodrat seorang wanita yang perlu pendamping hidup dan berumah tangga.

  5. Juni 8, 2010 pukul 3:52 pm

    Nama : Welti Wediasti

    KAJIAN CERPEN-CERPEN MOH. WAN ANWAR
    DALAM BUKU KUMPULAN CERPEN ‘SEPASANG MAUT’
    ”KIAI GENGGONG”
    1) Tema
    Ketenaran Kiai Genggong yang berhasil memimpin dan memajukan pesantren Gupitan yang semula dipimpin oleh Mama (Ayahnya).
    2) Tokoh:
    1.Kiai Genggong : Tokoh utama Protagonis (Keras, nyeleneh)
    2.Kiai Sabar : Tokoh Tipikal
    3.Kiai Behbar : Tokoh Tipikal
    4. Mama : Tokoh Tipikal lembut berwibawa
    5. Bung Hamid : Tokoh tipikal
    6. Bung Jamal : Tokoh tipikal
    7. Wak Makbul
    8. Mang Cecep
    9. Om Sarjono
    3) Latar tempat : Pesantren Gupitan (di sebuah kampung)
    Latar Sosial : kehidupan pesantren dan warga kampung Gupitan
    4) Alur : Maju(Progresif)
    a) Tahap pengenalan Tokoh utama Kiai Genggong, Kiai Sabar, dan Kiai Behbar yang akan dipilih sebagai pengganti Mama untuk memimpin pesantren Gupitan.
    b) Tahap Pemunculan konfliks : Terpilihnya Kiai Genggong sebagai pemimpin pesantren Gupitan dirisaukan oleh sejumlah warga karena wataknya yang keras berbeda dengan Mama yang lembut dan berwibawa.
    c) Tahap pengembangan konflik
    d) Tahap penyelesaian
    5) Sudut Pandang: orang ketiga
    6) Amanat : Janganlah menyepelekan orang lain dengan hanya melihat kelemahannya saja tanpa memperhatikan potensi/kelebihan yang dimilikinya.

  6. Juni 8, 2010 pukul 3:59 pm

    Anak-anak tugas-tugas yang telah dikirim ini akan kita bahas bersama pada pertemuan selanjutnya.

  7. 7 satria
    Juni 15, 2010 pukul 5:22 am

    Satria Adi Pirnawan

    A. PENDAHULUAN

    Judul : Rusmi Ingin Pulang
    Pengarang : Ahmad Tohari
    Penerbit : Penerbit Matahari

    Kota Terbit : Sleman,Yogyakarta
    Tahun : 2004

    Cetakan ke : Pertama

    Gambar Buku : Lukisan seorang wanita

    Warna Buku : Colat dan kuning

    B. ISI

    1. Unsur Tema

    Tema dalam novel ini adalah kepasrahan, cinta kasih, ketulusan, egois dan penyesalan.

    2. Unsur Penokohan

    Tokoh utama Rusmi . Memiliki watak sabar dan tabah menerima cobaan hidup,. Kang Hamim memiliki watak penuh pertimbangan, penakut dan terlalu khawatir, Pak RT memilki watak bijaksana dan Ustadz Muin memiliki sifat pelupa

    3. Alur atau Plot

    Alur yang digunakan dalam novel Rusmi Ingin Pulang adalah alur maju.

    4. Gaya Bahasa atau Majas

    Gaya bahasa novel ini sangat sederhana. Dapat dicerna oleh semua kalangan. Majas yang digunakan diantaranya sebagai berikut:

    1. Majas persinofikasi

    a. Dan tanaman hatinya yang semula berhias bunga-bungaan dan tanaman hijau sedikit demi sedikit berubah mejadi padang tandus.

    5. Unsur Latar

    a. Latar waktu

    Latar waktu dalam novel ini adalah masa kini yang modern dan sudah maju.

    b. Latar tempat

    Cerita ini berlangsung di Tanah Jawa dan terkadang berkisar tentang suasana modern yaitu kota Jakarta.

    c. Latar sosial

    Berlatar pada kehidupan sosial yang kental dengan nilai, norma dan budaya yang masih menyanjung tentang kehormatan dan tenggang rasa.

    6. Sudut Pandang

    Sudut pandang orang ketiga, pengarang diluar cerita di sebabkan karena pada cerita cerpen Rusmi ingin pulang menggunakan kata ia, dia, nya dan menyebutan tokoh secara langsung.

    7. Amanat

    Janganlah memandang orang dengan sebelah mata, janganlah berburuk sangka jka belum tahu letak kebenarannya, janganlah berputus asa terhadap cobaan yang menimpa.

    C. KESIMPULAN

    1. Analisa Cerpen Novel

    Berikut adalah Analisa Cerpen novel “Rusmi Ingin Pulang”.

    Rusmi ingin pulang adalah judul kumpulan cerpen tulisan penulis yang tak asing lagi di belantara sastrawan di Nusantara, Ahmad Tohari.
    Seolah ingin menegaskan kepiawaiannya dalam tema yang membuatnya sebagai seorang sastrawan yang cukup disegani dengan triloginya yang berjudul Rusmi Ingin Pulang, dalam cerpen ini Ahmad Tohari bermain-main dengan permasalahan yang biasa menimpa kaum perempuan yang hidup di pedesaan. Dalam “Rusmi Ingin Pulang”, Tohari terlihat ingin menyentil keberadaan kaum agamawan dan tokoh masyarakat yang bukannya ikut tergerak untuk melindungi kaum yang termajinalkan (seorang perempuan yang menjadi janda karena ditinggal mati suaminya). Mereka hanya berdiam diri saja melihat para penduduk desa memojokkan sang janda, Rusmi, yang menjalani kehidupan yang sulit semenjak sang suami yang menjadi sandaran hidupnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, sehingga dia harus pergi meninggalkan desa kelahirannya tersebut.

    1. Saran

    Setelah saya membaca cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul Rusmi ingin pulang, pengarang ingin menyampaikan amanat kepada pembaca agar segala sesuatu itu tidak dinilai satu sisi saja dan jangan berburuk sangka kepada orang lain apalagi kalau kita sendiri belum tahu masalah yang sebenarnya.

    1. Penutup

    Demikian Analisa Cerpen yang dapat kami sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan kami mohon maaf apabila dalam penyajian Analisa Cerpen ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, karena penyusun hanyalah manusia biasa yang masih jauh dari kesempurnaan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Tohari, Ahmad. (2004). Rusmi Ingin Pulang. Yogyakarta : Penerbit Matahari.


Tinggalkan Balasan ke titjepujilestari Batalkan balasan




Juni 2010
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

Bulan